Pendidikan ekonomi di Indonesia masih
memerlukan pembenahan baik dari sisi UU maupun pada tataran pelaksanaan
di lapangan / di lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah maupun perguruan tinggi. Jika pemerintah
berkomitmen dengan masalah pendidikan , maka pendidikan harus
mendapatkan prioritas dalam pembangunan bangsa, karena pendidikan
merupakan pembangunan fundamental untuk mengembangkan sumber daya
manusia. Dimana sumber daya manusia ini merupakan sebagai salah satu
tolok ukur kemajuan suatu bangsa. Anggaran pendidikan memang besar ( 20 %
)dari APBN dan tahun 2011 senilai Rp 50,3 trilliun. Angka ini turun
bila dibandingkan dengan tahun 2010 senilai lebih Rp 60 trilliun (http://www.detiknews.com/read/2010/08/17/130915/1421878/10/m-nuh-anggaran-pendidikan-2011-tetap-20-dari-apbn
).
Banyak pakar pendidikan mengatakan bahwa
kualitas pendidikan di Indonesia mengalami keterpurukan, keterpurukan
dunia pendidikan di Indonesia ini akan berdampak pada kualitas sumber
daya bangsa yang dituntut mampu bersaing dalam percaturan dunia yang
semakin global. Era globalisasi merupakan masa dan kondisi yang tidak
bisa dihindarkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehubungan
dengan masalah globalisasi menuntut kemampuan sumber daya yang memadai
atau mampu untuk menghadapi tantangan zaman yang penuh persaingan.
Kualitas pendidikan di Indonesia saat
ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO
(2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development
Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan,
kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks
pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di
dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105
(1998), dan ke-109 (1999), dan sampai tahun 2004 HDI Indonesia tetap
menduduki urutan di atas 100 yaitu urutan ke 111 dari 175 negara.
Terlepas sadar atau tidak, kondisi sumber daya manusia yang ada
merupakan hasil dari sistem dan mekanisme pendidikan yang ada di
Indonesia.
Menurut survei Political and Economic
Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada
urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah
Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000),
Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan
ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survai
dari lembaga yang sama, Indonesia hanya berpredikat sebagai follower
bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
(http://meilanikasim.wordpress.com/2009/03/08/makalah-masalah-pendidikan-di-indonesia/
)
Fenomena lain adalah tingginya angka
pengangguran dan kemiskinan di Indonesia. Jumlah kemiskinan di Indonesia
pada Maret 2009 saja mencapai 32,53 juta atau 14,15 persen
[www.bps.go.id], sedangkan angka pengangguran di Indonesia 9,43 Juta
Orang (8,46 persen).. (TEMPO Interaktif ,Senin 05 Januari 2009 ).
Tingginya angka pengangguran dan kemiskinan yang ada di Indonesia tidak
lepas dari sistem pendidikan yang ada di Indonesia, khususnya adalah pendidikan ekonmi.
Sehubungan keterpurukan ekonomi Indonesia sebagai akibat sistem
pendidikan ekonomi Indonesia, khususnya berkaitan dengan content materi
ajar pendidikan ekonomi yang diberikan pada pendidikan menengah dan
perguruan tinggi.
Identifikasi terkait dengan masalah
pendidikan ekonomi yang dihadapi oleh bangsa ini adalah :
1. Masalah paradigma.
Paradikma pendidikan
ekonomi di Indonesia diwarnai dan di rasuki oleh pradikma pemikiran
neoliberal. Hal ini tampak dengan adanya anggapan wajar adanya
persaingan yang tidak sehat dan saling mematikan dalam dunia bisnis.
Banyak pula fenomena yang dapat kita lihat dan dianggap wajar; Adanya
penggusuran orang – orang miskin untuk pembangunan rumah mewah , hotel
berbintang, atau super market dan hypermarket, serta pembangunan lain
yang memberikan keuntungan para pemilik modal klas dunia/kapitalis, dan
mengabaikan dan bahkan menggusur pelaku ekonomi lemah atau yang lebih
dikenal dengan pelaku ekonomi sektor informal.
Pemikiran yang
mendasari kebijakan seperti yang sering rasakan dan dapat kita lihat
dikarenakan oleh kebijakan tidak
berpijak pada UUD ’45 pasal 27 ayat 2 dan pasal 33 khususnya ayat 1,
yang mana segala aktifitas ekonomi diukur dengan efeisiensi/keuntungan
dan atau mekanisme pasar, dan bukannya ekonomi yang berkeadilan sosial.
Kondisi perekonomian
yang diserahkan pada mekanisme pasar – efisiensi pasar, serta
pemerintah yang kurang dan atau mengurangi perannya untuk mengatur dan
mengendalikan pasar, sehingga dapatlah dipahami bahwa semua kondisi
perekonomian ditentukan oleh permintaan dan penawaran yang terjadi di
pasar yang dikuasai para kapitalis.
Paradikma ini jelas
tidak sesuai dengan pasal 33 ayat 1 UUD ’45, dimana perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
Kekeluargaan — dan
bukannya di serahkan pada mekanisme pasar seperti yang dapat kita amati
seperti sekarang ini. Paradikma tersebut juga bertentangan dengan
Pancasila yang menjunjung tinggi nilai – nilai gotong royong dan nilai –
nilai sosial, yang merupakan sifat asli dan jati diri bangsa Indonesia.
2. Masalah orientasi pendidikan ekonomi
Hingga saat ini yang
diajarkan di lembaga sekolah maupun perguruan tinggi, pendidikan
ekonomi yang diajarkan masih didominasi pada orientasi ke pasar tenaga
kerja ( pasar Input ), dan bukannya pasar output atau berorientasi pada
penciptaan / menghasilkan barang / jasa. Sehingga tak ayal lagi output
dunia pendidikan yang ada setelah kembali ke masyarakat menjadi orang
yang berstatus pencari kerja ( job seeker ) dan bukannya
pencipta lapangan kerja ( job creator ). Harapan menjadikan
alumni lembaga pendidikan menjadi job creator memang
ideal, tetapi bukannya tidak dapat diwujudkan jikalau ada komitmen dari
Pemerintah dan masyarakat serta dibarengi dengan restrukturisasi di
bidang pendidikan termasuk anggaran pendidikan. Penulis juga sadar
bahwasanya menjadi job seeker bukannya suatu jalan pikiran yang
naif alias tidak bermartabat, tetapi akan menjadikan masalah besar
seperti yang kita rasakan seperti saat ini dengan sulitnya mencari
pekerjaan dan lowongan kerja, atau adanya ketidak seimbangan antara
pertumbuhan angkatan kerja dengan pertumbuhan ekonomi/industri sebagai
penyerap tenaga kerja. Kedua kalinya penulis juga sangat sadar,
bahwasanya di dalam kurikulum perguruan tinggi ada yang namanya mata
kuliah kewirausahaan. Namun menurut pandangan penulis tingkat
keberhasilannya belum sesuai dengan yang diharapkan. Karena kompetensi
kewirausahaan yang dimiliki oleh mahasiswa masih berada pada tataran
cognitive dan belum menyentuh pada aspek perilaku dan ketrampilan
berwirausaha yang aplikatif. Belum berhasilnya kompetensi alumni
perguruan tinggi, khususnya terkait kompetensi kewirausahaan dikarenakan
bayak faktor. Faktor tersebut antara lain sarana dan prasaran
kewirausahaan yang kurang memadai, kualifikasi dan komitmen guru dan
dosen, motivasi dan minat dari mahasiswa dsb.
Pemikiran diatas
terkait dengan masalah kemampuan alumni perguruan tinggi untuk menjadi job
creator , penulis tidak menutup mata adanya keberhasilan
alumni perguruan tinggi yang menjadi wirausahawan handal dan berhasil.
Namun kalau dihitung prosentasenya, walaupun tidak melalui penelitian
penulis yakin prosentasenya sangat – sangat rendah.
Pemikiran inilah
menurut penulis katakan sebagai salah satu masalah yang dihadapi oleh
pendidikan ekonomi secara nasional, dan sebagai salah satu pemikiran
alternatif untuk menekan angka pengangguran yang masih relatif tinggi.
Semoga bermanfaat !!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar