Rabu, 20 Juni 2012

Artikel Pendidikan :: Ekonomi Pancasila ::

Menggugat Kurikulum Fakultas Ekonomi
ARTIKEL yang ditulis ekonom senior Dr Hartojo Wignjowijoto, "Pengajaran Ilmu Ekonomi di FE UGM Perparah Keterpurukan Ekonomi Indonesia", sungguh harus dijadikan bahan perdebatan (KR, 25/2/2004). Ada beberapa pokok pikiran yang dikemukakan dengan bahasa yang lugas. Pertama, pengajaran ilmu ekonomi di FE UGM (dan PT lainnya di tanah air) keliru. Ilmu yang diajarkan berpijak pada Teori Neoklasik yang mengabaikan tatanan sosial yang ada di masyarakat. Kedua, tidak ada dosen FE UGM yang memunculkan gagasan tentang adanya ketidakberesan dalam proses pengajaran ilmu ekonomi ini. Ketiga, kesalahan dalam pengajaran ini telah memperparah krisis ekonomi di tanah air. Hal ini dapat terjadi antara lain karena ada alumnus dan dosen FE UGM yang (dengan ilmu yang salah) terlibat langsung dalam pengelolaan kebijakan ekonomi nasional. Keempat, dosen-dosen di FE UGM terbelenggu oleh ilmu yang pernah dipelajarinya, dan tidak mampu melakukan penalaran atas kebenaran ilmunya untuk diterapkan di tanah air. Kelima, saran agar FE meluruskan pengajarannya ilmu ekonomi dengan berpijak pada kondisi riil masyarakat Indonesia.

Tulisan dengan gaya sarkastis itu memang tidak semata-mata ditujukan sebagai kritik pada FE UGM, melainkan juga PT-PT lainnya. Namun dengan selalu menempatkan penyebutan FE UGM di setiap awal kritiknya, maka tidak bisa dielakkan bahwa sasaran utama tulisan tersebut adalah FE UGM. Ini mungkin karena beliau sebagai alumnus juga ikut merasa memiliki kampus kerakyatan yang belakangan ini banyak mendapat sorotan, sehingga merasa ikut bertanggung jawab dengan memberi masukan (baca: kritik) pada almamaternya.Sebenarnya, sebagian besar tulisan Dr Hartojo hanya ingin menggarisbawahi dengan interpretasinya sendiri - pemikiran yang disampaikan Prof Dr AR Karseno. Dengan dasar pemikiran itu pula ia menyerang FE UGM sebagai lembaga yang harus bertanggung jawab atas krisis ekonomi yang terjadi selama ini.Jika disikapi dengan kepala panas, maka civitas akademika FE UGM (termasuk saya yang alumnus dua degree dari FE UGM), tulisan tersebut memang bisa memancing emosi.

Ini bukan saja kritiknya sangat keras, tetapi juga karena gaya bahasanya yang frontal, tanpa tedeng aling-aling, bahkan provokatif. Hal ini sangat berbeda dengan bahasa yang disampaikan Karseno yang njawani, sehingga disebut Hartojo sebagai munafik.Namun, sebagai institusi akademik, saya yakin FE UGM (dan juga PT lainnya) bisa melihat komentar tersebut secara jernih dengan kepala dingin. Menurut saya, secara substantif tulisan tersebut sangat baik. Baik dalam artian bisa menjadi momentum bagi FE UGM, dan FE-FE lain di tanah air untuk mawas diri dan mengkaji kurikulum dan metode pengajarannya. Jangan-jangan apa yang diajarkan selama ini memang banyak yang benar-benar salah!!??Bagi mereka yang rajin mengikuti perkembangan pemikiran ekonom di tanah air, sebenarnya kritik seperti yang disampaikan Hartojo (dan juga AR Karseno) sebetulnya bukan sesuatu yang baru.

Jadi, adalah keliru kalau Hartojo menyatakan, tidak seorang pun dari FE UGM dan universitas lainnya yang memunculkan gagasan bahwa ada yang enggak beres di dalam pengajaran di FE UGM. Jauh sebelum itu, dalam konteks Indonesia, Prof Mubyarto telah berulang kali menyuarakan hal yang sama. Berbagai tulisannya, baik dalam buku, artikel di media massa, maupun naskah ceramah seminar di berbagai forum, secara frontal telah menunjukkan kelemahan ajaran Neoklasik tersebut. Namun sejauh ini, kritik tersebut masih kurang direspons secara akademik. Pengajaran ilmu ekonomi terus berjalan as usual, dan ini tidak hanya di FE UGM tetapi di seluruh Fakultas Ekonomi di tanah air. Ketidakpuasan semacam ini sebetulnya sesuatu yang sudah cukup lama terjadi, dan ini tidak hanya di Indonesia. Letupan-letupan ketidakpuasan terhadap ekonomi konvensional itu kemudian memunculkan berbagai konsep ilmu ekonomi alternatif, seperti Ekonomi Kelembagaan (Kenneth Building), Ekonomika Strukturalis (Raul Prebisch), serta Ekonomika Islami yang digali oleh ekonom-ekonom muslim (Dumairy, 2003). Di Indonesia sejak awal 1980-an ketidakpuasan atas teori ekonomi konvensional itu sudah diwacanakan oleh Prof Mubyarto, dan kini dikembangkan melalui PUSTEP (Pusat Studi Ekonomi Pancasila) UGM. Bahkan, suatu studi (1997) di enam universitas terkemuka dunia (Chicago, Harvard, MIT, Stanford, Columbia, dan Yale) hanya 34% mahasiswa pascasarjana yang menyatakan "sangat setuju" ilmu ekonomi yang diajarkan di universitas-universitas AS relevan untuk memecahkan masalah ekonomi dewasa ini (Mubyarto 2002).

Perkembangan terbaru ditunjukkan di Fakultas Ekonomi Harvard University. Mereka tidak sekadar mewacanakan mengenai ekonomi alternatif, melainkan sudah pada tahap mengujicobakan pengajaran materi pengantar ilmu ekonomi alternatif tersebut. Mereka yang berpikir beda ini disebut oleh majalah The Economist sebagai dissident economist.Ekonom yang murtad (heterodox economist atau dissident economist) layak mendapat acuan jempol (deserve credit), demikian tulis The Economist (10 Mei 2003), berkait dengan ditawarkannya kuliah pengantar ekonomi alternatif di FE terkemuka dunia tersebut. Pengajarnya adalah Prof Martien Feldstein, mantan penasihat ekonomi Presiden AS Ronald Reagan. Acungan jempol juga diberikan karena mereka menawarkan kepada konsumennya (mahasiswa) suatu pelajaran alternatif tentang apa yang terbaik (diinginkan) bagi mereka untuk diketahui.

Asumsi dasar pengajaran ini berbeda dengan yang diajarkan ekonom neoklasik. Dengan menggunakan pendekatan psikologi, ekonom ini menolak konsep homo ekonomikus, yang selalu menganggap manusia bertindak rasional. Jika konsep ini diterima, maka dampaknya akan sangat luas bagi pengajaran ilmu ekonomi berbasiskan ekonomi neoklasik.Tulisan dalam rubrik Fokus Ekonomi bertajuk Behaviourist at the Gates tersebut menjelaskan bagaimana ekonom perilaku (behavioural economist) menggunakan psikologi untuk mempertanyakan resep-resep kebijakan ekonomi ortodoks (konvensional). Ditawarkannya mata kuliah pengantar ekonomi alternatif di Harvard tersebut menunjukkan apa yang dilakukan dengan mengkaji dan merumuskan sistem ekonomi alternatif seperti Ekonomi Pancasila bukanlah sesuatu yang aneh dan mengada-ada. Kebutuhan akan ekonomi alternatif ini juga muncul di kampus-kampus di Amerika di mana sebagian besar mahasiswa pertama kali memperoleh pengajaran mengenai konsep homo ekonomikus.Walaupun yang diajarkan para ekonom yang murtad (atau mungkin lebih pas disebut ekonom reformis, ekonom pembaharu) ini lebih jelas dibanding ekonomi neoklasik yang tidak rinci dalam menjelaskan perilaku manusia dalam dunia nyata, namun menurut The Economist, sejauh ini hasilnya masih sangat terbatas.

Pelajaran ekonomi masih didominasi rumus-rumus yang seolah tak mungkin salah, yang pelakunya - agents dan actors - selalu berperilaku rasional, merekomendasikan perdagangan bebas, pembatasan peran pemerintah, dan pajak yang rendah.Ide tentang teori ekonomi perilaku (behavioural economics) sebagian besar datang dari Daniel Kahneman, psikolog yang dua tahun lalu memperoleh Nobel dalam bidang ekonomi. Berbeda dengan Neoklasik, ekonomi perilaku ini menganggap bahwa manusia tidak selalu bertindak rasional. Orang mungkin mengabaikan risiko, dan mengambil langkah untung-untungan. Manusia mungkin tidak tahu bagaimana mengalokasikan uangnya untuk mencapai kepuasan maksimum. Lebih dari itu manusia tidak melulu bersifat mementingkan diri sendiri atau serakah (selfish).

Orangtua rela berkorban untuk anaknya; dan orang menyumbang untuk kegiatan sosial atau keagamaan tanpa mengharapkan keuntungan apapun.Anggapan manusia yang selfish telah menjadikan ilmu ekonomi mengajarkan manusia untuk selalu berperang (kompetisi) satu dengan lainnya, mengajarkan "keserakahan" yang diperhalus dengan kata kemakmuran. Kenyataannya manusia tidak selalu berpikir dan berbuat demikian. Manusia bisa bekerjasama (co-operation) untuk memenuhi kebutuhannya, mengedepankan keadilan ketimbang efisiensi, atau memasukkan pertimbangan moral dan etika dalam mengambil keputusan ekonomi. Karenanya ilmu ekonomi pun seharusnya bisa mengajarkan tentang konsep kerja sama untuk mencapai kemakmuran bersama bukan keserakahan individual.Banyak hal dari ajaran ekonomi ortodoks yang digugat oleh ekonom nonortodoks. Menurut mereka, teori dasar tentang kurva permintaan dan penawaran tidak akan banyak artinya, karena orang tidak selalu mampu menghitung uang yang dengan rela ia keluarkan untuk sesuatu kebutuhan. Padahal banyak sekali teori-teori ekonomi yang menggunakan pendekatan atau dasar teori tersebut. Untuk menghitung kenaikan biaya karena pajak, misalnya, juga tergantung pada kedua kurva tersebut.

Perdagangan bebas, misalnya, direkomendasikan berdasarkan manfaat yang diperoleh akibat turunnya bea masuk dibandingkan dengan biaya akibat hilangnya pekerjaan bagi industri yang tersaingi. Namun jika itu semua tidak bisa dihitung, maka rasionalitas di balik teori itu tidak ada artinya.Diajarkannya pemikiran ekonomi alternatif di Harvard merupakan angin segar untuk berkembangnya pemikiran-pemikiran ekonom di luar arus utama. Sebagian ekonom mungkin tak lagi terpaku dengan model-model ekonometerik yang canggih untuk menjelaskan fenomena ekonomi, menyusun suatu kebijakan, atau meramal masa depan perekonomian. Sebagaimana yang kini dilakukan Stephen Marglin, Guru Besar di Universitas Harvard yang merupakan pengusul pengajaran pengantar ekonomi yang nonkonvensional tersebut, yang lebih mendorong mahasiswanya untuk membaca tulisan-tulisan mengenai nasib pekerja tekstil di AS yang menganggur gara-gara NAFTA ketimbang mengkaji secara ekonometerika manfaat kerja sama dari perjanjian tersebut bagi AS dan Meksiko. Apakah Fakultas-fakultas Ekonomi di Indonesia tidak mau memulai menawarkan hal yang sama - pilihan matakuliah yang asumsinya berbeda dengan Neoklasik namun membumi atau bersifat ke-Indonesiaan? Barangkali FE UGM bisa menjadikan kritik dari Hartojo dijadikan sebagai momentum memulai sesuatu yang sebenarnya sudah dipikirkan oleh para alumni dan segelintir dosennya. q - o*)
Dr Edy Suandi Hamid, Dosen Fakultas Ekonomi UII Yogyakarta. .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar