Menggugat Kurikulum Fakultas Ekonomi
ARTIKEL yang ditulis ekonom senior Dr Hartojo Wignjowijoto, "Pengajaran
Ilmu Ekonomi di FE UGM Perparah Keterpurukan Ekonomi Indonesia", sungguh
harus dijadikan bahan perdebatan (KR, 25/2/2004). Ada beberapa pokok
pikiran yang dikemukakan dengan bahasa yang lugas. Pertama, pengajaran
ilmu ekonomi di FE UGM (dan PT lainnya di tanah air) keliru. Ilmu yang
diajarkan berpijak pada Teori Neoklasik yang mengabaikan tatanan sosial
yang ada di masyarakat. Kedua, tidak ada dosen FE UGM yang memunculkan
gagasan tentang adanya ketidakberesan dalam proses pengajaran ilmu
ekonomi ini. Ketiga, kesalahan dalam pengajaran ini telah memperparah
krisis ekonomi di tanah air. Hal ini dapat terjadi antara lain karena
ada alumnus dan dosen FE UGM yang (dengan ilmu yang salah) terlibat
langsung dalam pengelolaan kebijakan ekonomi nasional. Keempat,
dosen-dosen di FE UGM terbelenggu oleh ilmu yang pernah dipelajarinya,
dan tidak mampu melakukan penalaran atas kebenaran ilmunya untuk
diterapkan di tanah air. Kelima, saran agar FE meluruskan pengajarannya
ilmu ekonomi dengan berpijak pada kondisi riil masyarakat Indonesia.
Tulisan dengan gaya sarkastis itu memang tidak semata-mata ditujukan
sebagai kritik pada FE UGM, melainkan juga PT-PT lainnya. Namun dengan
selalu menempatkan penyebutan FE UGM di setiap awal kritiknya, maka
tidak bisa dielakkan bahwa sasaran utama tulisan tersebut adalah FE UGM.
Ini mungkin karena beliau sebagai alumnus juga ikut merasa memiliki
kampus kerakyatan yang belakangan ini banyak mendapat sorotan, sehingga
merasa ikut bertanggung jawab dengan memberi masukan (baca: kritik) pada
almamaternya.Sebenarnya, sebagian besar tulisan Dr Hartojo hanya ingin
menggarisbawahi dengan interpretasinya sendiri - pemikiran yang
disampaikan Prof Dr AR Karseno. Dengan dasar pemikiran itu pula ia
menyerang FE UGM sebagai lembaga yang harus bertanggung jawab atas
krisis ekonomi yang terjadi selama ini.Jika disikapi dengan kepala
panas, maka civitas akademika FE UGM (termasuk saya yang alumnus dua
degree dari FE UGM), tulisan tersebut memang bisa memancing emosi.
Ini bukan saja kritiknya sangat keras, tetapi juga karena gaya
bahasanya yang frontal, tanpa tedeng aling-aling, bahkan provokatif. Hal
ini sangat berbeda dengan bahasa yang disampaikan Karseno yang njawani,
sehingga disebut Hartojo sebagai munafik.Namun, sebagai institusi
akademik, saya yakin FE UGM (dan juga PT lainnya) bisa melihat komentar
tersebut secara jernih dengan kepala dingin. Menurut saya, secara
substantif tulisan tersebut sangat baik. Baik dalam artian bisa menjadi
momentum bagi FE UGM, dan FE-FE lain di tanah air untuk mawas diri dan
mengkaji kurikulum dan metode pengajarannya. Jangan-jangan apa yang
diajarkan selama ini memang banyak yang benar-benar salah!!??Bagi mereka
yang rajin mengikuti perkembangan pemikiran ekonom di tanah air,
sebenarnya kritik seperti yang disampaikan Hartojo (dan juga AR Karseno)
sebetulnya bukan sesuatu yang baru.
Jadi, adalah keliru kalau Hartojo menyatakan, tidak seorang pun dari FE
UGM dan universitas lainnya yang memunculkan gagasan bahwa ada yang
enggak beres di dalam pengajaran di FE UGM. Jauh sebelum itu, dalam
konteks Indonesia, Prof Mubyarto telah berulang kali menyuarakan hal
yang sama. Berbagai tulisannya, baik dalam buku, artikel di media massa,
maupun naskah ceramah seminar di berbagai forum, secara frontal telah
menunjukkan kelemahan ajaran Neoklasik tersebut. Namun sejauh ini,
kritik tersebut masih kurang direspons secara akademik. Pengajaran ilmu
ekonomi terus berjalan as usual, dan ini tidak hanya di FE UGM tetapi di
seluruh Fakultas Ekonomi di tanah air. Ketidakpuasan semacam ini
sebetulnya sesuatu yang sudah cukup lama terjadi, dan ini tidak hanya di
Indonesia. Letupan-letupan ketidakpuasan terhadap ekonomi konvensional
itu kemudian memunculkan berbagai konsep ilmu ekonomi alternatif,
seperti Ekonomi Kelembagaan (Kenneth Building), Ekonomika Strukturalis
(Raul Prebisch), serta Ekonomika Islami yang digali oleh ekonom-ekonom
muslim (Dumairy, 2003). Di Indonesia sejak awal 1980-an ketidakpuasan
atas teori ekonomi konvensional itu sudah diwacanakan oleh Prof
Mubyarto, dan kini dikembangkan melalui PUSTEP (Pusat Studi Ekonomi
Pancasila) UGM. Bahkan, suatu studi (1997) di enam universitas terkemuka
dunia (Chicago, Harvard, MIT, Stanford, Columbia, dan Yale) hanya 34%
mahasiswa pascasarjana yang menyatakan "sangat setuju" ilmu ekonomi yang
diajarkan di universitas-universitas AS relevan untuk memecahkan
masalah ekonomi dewasa ini (Mubyarto 2002).
Perkembangan terbaru ditunjukkan di Fakultas Ekonomi Harvard University.
Mereka tidak sekadar mewacanakan mengenai ekonomi alternatif, melainkan
sudah pada tahap mengujicobakan pengajaran materi pengantar ilmu
ekonomi alternatif tersebut. Mereka yang berpikir beda ini disebut oleh
majalah The Economist sebagai dissident economist.Ekonom yang murtad
(heterodox economist atau dissident economist) layak mendapat acuan
jempol (deserve credit), demikian tulis The Economist (10 Mei 2003),
berkait dengan ditawarkannya kuliah pengantar ekonomi alternatif di FE
terkemuka dunia tersebut. Pengajarnya adalah Prof Martien Feldstein,
mantan penasihat ekonomi Presiden AS Ronald Reagan. Acungan jempol juga
diberikan karena mereka menawarkan kepada konsumennya (mahasiswa) suatu
pelajaran alternatif tentang apa yang terbaik (diinginkan) bagi mereka
untuk diketahui.
Asumsi dasar pengajaran ini berbeda dengan yang diajarkan ekonom
neoklasik. Dengan menggunakan pendekatan psikologi, ekonom ini menolak
konsep homo ekonomikus, yang selalu menganggap manusia bertindak
rasional. Jika konsep ini diterima, maka dampaknya akan sangat luas bagi
pengajaran ilmu ekonomi berbasiskan ekonomi neoklasik.Tulisan dalam
rubrik Fokus Ekonomi bertajuk Behaviourist at the Gates tersebut
menjelaskan bagaimana ekonom perilaku (behavioural economist)
menggunakan psikologi untuk mempertanyakan resep-resep kebijakan ekonomi
ortodoks (konvensional). Ditawarkannya mata kuliah pengantar ekonomi
alternatif di Harvard tersebut menunjukkan apa yang dilakukan dengan
mengkaji dan merumuskan sistem ekonomi alternatif seperti Ekonomi
Pancasila bukanlah sesuatu yang aneh dan mengada-ada. Kebutuhan akan
ekonomi alternatif ini juga muncul di kampus-kampus di Amerika di mana
sebagian besar mahasiswa pertama kali memperoleh pengajaran mengenai
konsep homo ekonomikus.Walaupun yang diajarkan para ekonom yang murtad
(atau mungkin lebih pas disebut ekonom reformis, ekonom pembaharu) ini
lebih jelas dibanding ekonomi neoklasik yang tidak rinci dalam
menjelaskan perilaku manusia dalam dunia nyata, namun menurut The
Economist, sejauh ini hasilnya masih sangat terbatas.
Pelajaran ekonomi masih didominasi rumus-rumus yang seolah tak mungkin
salah, yang pelakunya - agents dan actors - selalu berperilaku rasional,
merekomendasikan perdagangan bebas, pembatasan peran pemerintah, dan
pajak yang rendah.Ide tentang teori ekonomi perilaku (behavioural
economics) sebagian besar datang dari Daniel Kahneman, psikolog yang dua
tahun lalu memperoleh Nobel dalam bidang ekonomi. Berbeda dengan
Neoklasik, ekonomi perilaku ini menganggap bahwa manusia tidak selalu
bertindak rasional. Orang mungkin mengabaikan risiko, dan mengambil
langkah untung-untungan. Manusia mungkin tidak tahu bagaimana
mengalokasikan uangnya untuk mencapai kepuasan maksimum. Lebih dari itu
manusia tidak melulu bersifat mementingkan diri sendiri atau serakah
(selfish).
Orangtua rela berkorban untuk anaknya; dan orang menyumbang untuk
kegiatan sosial atau keagamaan tanpa mengharapkan keuntungan
apapun.Anggapan manusia yang selfish telah menjadikan ilmu ekonomi
mengajarkan manusia untuk selalu berperang (kompetisi) satu dengan
lainnya, mengajarkan "keserakahan" yang diperhalus dengan kata
kemakmuran. Kenyataannya manusia tidak selalu berpikir dan berbuat
demikian. Manusia bisa bekerjasama (co-operation) untuk memenuhi
kebutuhannya, mengedepankan keadilan ketimbang efisiensi, atau
memasukkan pertimbangan moral dan etika dalam mengambil keputusan
ekonomi. Karenanya ilmu ekonomi pun seharusnya bisa mengajarkan tentang
konsep kerja sama untuk mencapai kemakmuran bersama bukan keserakahan
individual.Banyak hal dari ajaran ekonomi ortodoks yang digugat oleh
ekonom nonortodoks. Menurut mereka, teori dasar tentang kurva permintaan
dan penawaran tidak akan banyak artinya, karena orang tidak selalu
mampu menghitung uang yang dengan rela ia keluarkan untuk sesuatu
kebutuhan. Padahal banyak sekali teori-teori ekonomi yang menggunakan
pendekatan atau dasar teori tersebut. Untuk menghitung kenaikan biaya
karena pajak, misalnya, juga tergantung pada kedua kurva tersebut.
Perdagangan bebas, misalnya, direkomendasikan berdasarkan manfaat yang
diperoleh akibat turunnya bea masuk dibandingkan dengan biaya akibat
hilangnya pekerjaan bagi industri yang tersaingi. Namun jika itu semua
tidak bisa dihitung, maka rasionalitas di balik teori itu tidak ada
artinya.Diajarkannya pemikiran ekonomi alternatif di Harvard merupakan
angin segar untuk berkembangnya pemikiran-pemikiran ekonom di luar arus
utama. Sebagian ekonom mungkin tak lagi terpaku dengan model-model
ekonometerik yang canggih untuk menjelaskan fenomena ekonomi, menyusun
suatu kebijakan, atau meramal masa depan perekonomian. Sebagaimana yang
kini dilakukan Stephen Marglin, Guru Besar di Universitas Harvard yang
merupakan pengusul pengajaran pengantar ekonomi yang nonkonvensional
tersebut, yang lebih mendorong mahasiswanya untuk membaca
tulisan-tulisan mengenai nasib pekerja tekstil di AS yang menganggur
gara-gara NAFTA ketimbang mengkaji secara ekonometerika manfaat kerja
sama dari perjanjian tersebut bagi AS dan Meksiko. Apakah
Fakultas-fakultas Ekonomi di Indonesia tidak mau memulai menawarkan hal
yang sama - pilihan matakuliah yang asumsinya berbeda dengan Neoklasik
namun membumi atau bersifat ke-Indonesiaan? Barangkali FE UGM bisa
menjadikan kritik dari Hartojo dijadikan sebagai momentum memulai
sesuatu yang sebenarnya sudah dipikirkan oleh para alumni dan segelintir
dosennya. q - o*)
Dr Edy Suandi Hamid, Dosen Fakultas Ekonomi UII
Yogyakarta. .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar